Pages

Tuesday 17 January 2012

Lele Agrobost ekspor 50 ton ke Taiwan

Berkat aplikasi Agrobost tambak pada pembudidayaan ikan lele ini, kualitas hasil produksi lele lulus seleksi ekspor ke Taiwan.
(Bapak Sulton, Gapoktan Tani Lele Banyuwangi)

Monday 16 January 2012

Budidaya Lele 2,5 bulan Panen

Budidaya Lele Varietas Sangkuriang Panen 2,5 bulan.
Aplikasi Agrobost Tambak Meningkatkan Produktifitas, Hemat Pakan, Tingkat Kematian 0 %

Thursday 5 January 2012

Super Tomat Agrobost

              Bener Meriah, Nangroe Aceh Darusalam. Petani tomat    organik..Tanah lebih subur hasil meningkat.

Jagung Super Agrobost

Tanah Subur Berkat Agrobost

Perhatikan foto ini ! Ini adalah tanah yang sudah menggunakan Pupuk Biologi Agrobost selama kurang lebih 1 Tahun. Tampak jelas tanah tersebut sangat gempur mirip kompos. Ini lah keuntungan jangka Panjang jika kita memakai Agrobost karena Kita mewariskan Tanah yang subur untuk Anak Cucu kita. Ayo, Gencarkan Pemakaian Agrobost, Kurangi Pemakaian Pupuk Kimia demi masa depan Pertanian Kita !!!

Wednesday 4 January 2012

Hama Padi bagian 12

Status
Penyakit bercak daun coklat disebabkan oleh jamur Helminthosporium oryzae tersebar di negara-negara penghasil padi di Asia dan di Afrika. Di Indonesia, penyakit ini banyak ditemukan pada pertanaman padi terutama di tanah-tanah marginal yang kurang subur, atau kahat unsur hara tertentu. Beberapa daerah padi gogorancah di Nusa Tenggara Barat, Bali, Gunung Kidul, Jawa Barat bagian selatan dan Lampung  merupakan daerah endemik penyakit ini. Hubungan antara terjadinya penyakit dengan ketersediaan unsur hara tanah sangat erat. Tanaman yang kurang sehat sangat mudah terserang penyakit ini. Pada kondisi tanah yang kahat unsur kalium penyakit bercak coklat dapat menimbulkan kerugian hasil 50 sampai 90 persen.  Faktor lain yang berpengaruh adalah sistem drainase yang tidak baik, sehingga mengganggu terserapnya unsur-unsur hara.

Biologi dan Ekologi

Gajala khas penyakit ini adalah adanya bercak coklat pada daun berbentuk oval yang merata di permukaan daun dengan titik tengah berwarna abu-abu atau putih. Titik abu-abu di tengah bercak merupakan gejala khas penyakit bercak daun coklat di lapang. Bercak yang masih muda berwarna coklat gelap atau keunguan berbentuk bulat. Pada varietas yang peka panjang bercak  dapat mencapai panjang 1 cm. Pada serangan berat, jamur daopat menginfeksi gabah dengan gejala bercak berwarna hitam atau coklat gelap pada gabah.
Jamur H. oryzae menginfeksi daun, baik melalui stomata maupun menembus langsung dinding sel epidermis setelah membentuk apresoria. Konidia lebih banyak dihasilkan oleh  bercak yang sudah berkembang (besar) kemudian konidia dihembuskan oleh angin dan menimbulkan infeksi sekender. Jamur dapat bertahan sampai 3 tahun pada jaringan tanaman dan lamanya bertahan sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.
Pengendalian
Perkembangan penyakit sangat erat hubungannya dengan keadaan hara tanah khususnya nitrogen, kalium, magnesium, dan mangan. Penanaman varietas tahan di Indonesia masih sangat terbatas. Rabcide 50 WP merupakan fungisida yang dianjurkan untuk mengendalikan penyakit bercak daun coklat H. oryzae pada pertanaman padi gogo.
 

Sumber : http://bbpadi.litbang.deptan.go.id

Hama Padi bagian 11


BERCAK DAUN CERCOSPORA (Cercospora leaf spot)
Status
Penyakit bercak daun cercospora sering disebut bercak coklat sempit (narrow brown leaf spot) disebabkan oleh jamur Cercospora oryzae Miyake. Penyakit bercak daun cercospora merupakan penyakit yang sangat merugikan terutama pada sawah tadah hujan yang kahat kalium. Penurunan hasil akibat penyakit ini disebabkan oleh keringnya daun sebelum waktunya dan keringnya pelepah daun yang menyebabkan kerebahan tanaman. Penyakit bercak daun tersebar diseluruh negara penghasil padi di Asia Tenggara, Jepang, Cina, Amerika Serikat, Amerika Tengah, dan Afrika. Di Indonesia penyakit bercak daun tersebar diseluruh daerah penghasil padi di Jawa.  Di Jalur Pantura Jawa Barat penyakit ini tersebar merata di Kabupaten Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon.

Biologi dan ekologi

Gejala penyakit timbul pada daun berupa bercak-bercak sempit memanjang, berwarna coklat kemerahan, sejajar dengan ibu tulang daun, dengan ukuran panjang kurang lebih 5 mm dan lebar 1-1,5 mm. Banyaknya bercak makin meningkat pada waktu tanaman membentuk anakan. Pada serangan yang berat bercak-bercak terdapat pada upih daun, batang, dan bunga. Pada saat tanaman mulai masak gejala yang berat mulai terlihat pada daun bendera dan gejala paling berat menyebabkan daun mengering. Infeksi yang terjadi pada pelepah dan batang meyebabkan batang dan pelepah daun busuk sehingga tanaman menjadi rebah.
Jamur penyebab penyakit bercak daun mengadakan penetrasi ke jaringan melalui stomata. Miselia berkembang di dalam jaringan parenkhima dan di dalam sel-sel epidermis. Jamur mampu bertahan dalam jerami atau daun sakit. Perkembangan penyakit bercak daun cercospora sangat dipengaruhi oleh faktor ketahanan varietas dan pemupukan. Varietas tahan sangat efektif menekan perkembangan penyakit bercak daun cercospora. Pada varietas yang tahan, bercak lebih sempit, lebih pendek, dan lebih tua warnanya.
Pengendalian
Prioritas utama dalam pengendalian penyakit bercak daun cercospora adalah dengan penanaman varietas tahan  dan perbaikan kondisi tanaman. Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan varietas Ciherang dan Membramo tergolong tahan, sedang IR64 dan Widas tergolong rentan. Pemupukan N, P, dan K yang mencukup kebutuhan tanaman sangat efektif menekan perkembangan penyakit. Penyemprotan fungisida difenoconazol satu kali dengan dosis 1 cc per satu liter air volume semprot 400-500 l /ha pada stadium anakan maksimum, menekan perkembangan penyakit bercak daun cercospora hingga 32,10%.


Sumber : http://bbpadi.litbang.deptan.go.id

Hama Padi bagian 10

Hama Blas

Status
Penyakit blas (Pyricularia grisea) merupakan penyakit penting terutama pada padi gogo tersebar di seluruh daerah pengahsil padi gogo di Indonesia. Daerah endemik penyakit blas di Indonesia adalah Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Sulawesi Tangah, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Barat bagian selatan (Sukabumi dan Garut). Akhir-akhir ini penyakit blas khususnya blas leher menjadi tantangan yang lebih serius karena banyak ditemukan pada beberapa varietas padi sawah di Jalur Pantura Jawa Barat. Penyebab penyakit dapat menginfeksi tanaman pada  semua stadium tumbuh dan menyebabkan tanaman puso. Pada tanaman stadium vegetatif biasanya menginfeksi bagian daun, disebut blas daun (leaf blast). Pada stadium generatif selain menginfeksi daun juga menginfeksi leher malai disebut blas leher (neck blast).

Biologi dan Ekologi

Gejala penyakit blas dapat timbul pada daun, batang, malai, dan gabah, tetapi yang umum adalah pada daun dan pada leher malai. Gejala pada daun berupa bercak-bercak berbentuk seperti belah ketupat dengan ujung runcing. Pusat bercak berwarna kelabu atau keputih-putihan dan biasanya memmpunyai tepi coklat atau coklat kemerahan. Gejala penyakit blas yang khas adalah busuknya ujung tangkai malai yang disebut busuk leher (neck rot). Tangkai malai yang busuk mudah patah dan menyebabkan gabah hampa. Pada gabah yang sakit terdapat bercak-bercak kecil yang bulat.
Penularan penyakit terutama terjadi melalui konidia yang terbawa angin. Konidia dibentuk dan dilepas waktu malam, meskipun serimg terjadi siang hari sehabis turun hujan. Konidium ini hanya dilepaskan jika kelembaban nisbi udara lebih tinggi dari 90%. Pelepasan terjadi secara eksplosif, karena pecahnya sel kecil di bawah konidium sebagai akibat dari pengaruh tekanan osmotik. Penetrasi kebanyakan terjadi secara langsung dengan menembus kutikula. Permukaan atas daun dan daun-daun yang lebih muda lebih mudah dipenetrasi. Patogen P. oryzae dapat mempertahankan diri pada sisa-sisa tanaman dan gabah dalam bentuk miselium dan konidium.
Tingkat keparahan penyakit blas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Kelebihan nitrogen dan kekurangan air menambah kerentanan tanaman. Diduga bahwa kedua faktor tersebut menyebabkan kadar silikon tanaman rendah. Kandungan silikon dalam jaringan tanaman menentukan ketebalan dan kekerasan dinding sel sehingga mempengaruhi terjadinya penetrasi patogen kedalam jaringan tanaman. Tanaman padi yang berkadar silikon rendah akan lebih rentan terhadap infeksi patogen. Pupuk nitrogen berkorelasi positif terhadap keparahan penyakit blas. Artinya makin tinggi pupuk nitrogen keparahan penyakit makin tinggi.
Perkecambahan konidium Pyricularia grisea memerlukan air. Jangka waktu pengembunan atau air hujan merupakan kondisi yang sangat menentukan bagi konidium yang menempel pada permukaan daun untuk berkecambah dan selanjutnya menginfeksi jaringan tanaman. Bila kondisi sangat baik yaitu periode basah lebih dari 5 jam, sekitar 50% konidium dapat menginfeksi jaringan tanaman dalam waktu 6-10 jam. Suhu optimum untuk perkecambahan konidium dan pembentukan apresorium adalah 25-28 C.
Pengendalian
Usaha pengendalian penyakit blas yang sampai saat ini dianggap paling efektif adalah dengan varietas tahan. Varietas Limboto,  Way Rarem, dan Jatiluhur di beberapa tempat di Purwakarta, Subang, dan Indramayu tergolong tahan terhadap penyakit blas leher.    Patogen P. grisea sangat mudah membentuk ras baru yang lebih virulen dan ketahanan varietas sangat ditentukan oleh dominasi  ras patogen. Hal ini menyebabkan penggunaan varietas tahan sangat dibatasi oleh waktu dan tempat. Artinya varietas yang semula tahan akan menjadi rentan setelah ditanam beberapa musim dan varietas yang tahan di satu tempat mungkin rentan di tampat lain. Ketahanan varietas yang hanya ditentukan oleh satu gen (monogenic resistant) mudah terpatahkan. Untuk itu pembentukan varietas tahan yang memiliki lebih dari satu gen tahan (polygenic resistant) sangat diperlukan. Penggunaan varietas harus disesuaikan dengan kondisi struktur populasi ras yang ada. Pergiliran varietas dengan varietas unggul lokal yang umumnya tahan terhadap penyakit blas sangat dianjurkan. Penyakit blas merupakan penyakit yang terbawa benih (seed borne pathogen), maka untuk mencegah penyakit blas dianjurkan tidak menggunakan benih yang berasal dari daerah endemis penyakit blas.
Mengingat ketahanan varietas terhadap penyakit blas tidak bisa berlangsung lama maka penggunaan varietas tahan perlu didukung dengan komponen pengendalian lain. Fungisida merupakan teknologi yang sangat praktis dalam mengatasi penyakit blas, namun sering kali menimbulkan efek samping yang kurang baik diantaranya menimbulkan resistensi patogen dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu agar fungisida dapat digunakan seefektif mungkin dengan efek samping yang sekecil mungkin, maka fungisida harus digunakan secara rasional yaitu harus diperhitungkan tentang jenis, dosis, dan waktu aplikasi yang tepat. Beberapa jenis fungisida yang dianjurkan untuk mengendalikan penyakit blas adalah Topsin 500 F, Topsin 70 WP, Kasumiron 25/1 WP, dan Delsene MX 80 WP.

Sumber : http://bbpadi.litbang.deptan.go.id

Hama Padi bagian 9

Busuk Batang

Status
Penyakit busuk batang merupakan salah satu penyakit utama padi di Indonesia.  Penyakit ini selalu ditemukan pada setiap musim tanam dengan kategori infeksi ringan sampai sedang. Pada musim hujan, lebih dari 60% tanaman padi di jalur pantura Jawa Barat mengalami kerebahan akibat diinfeksi cendawan H. Sigmoideum.  Kerebahan menyebabkan persentase gabah hampa meningkat.  Kehilangan hasil padi akibat penyakit busuk batang 25-30%. Busuk batang ditemukan lebih parah pada varietas padi beranakan banyak yang ditanam pada lokasi kahat kalium serta berdrainase jelek. Umumnya penyakit ini kurang mendapat perhatian, karena dianggap sebagai gangguan yang bersifat klasik dan biasa-biasa saja.
Biologi dan Ekologi
Gejala penyakit diawali dengan bercak kecil kehitaman pada pelepah bagian luar di atas batas permukaan air, selanjutnya bercak membesar. Cendawan penyebab penyakit menembus bagian dalam pelepah  dan menginfeksi batang sehingga menyebabkan busuk pada batang dan pelepah.  Cendawan penyebab busuk batang menghasilkan sklerosia yang berbentuk bulat kecil berwarna hitam.  Sklerosia banyak terdapat pada bagian dalam batang padi yang membusuk.
Selama kondisi lingkungan kurang menguntungkan, cendawan menghasilkan sklerosia secara berlimpah  sebagai alat untuk bertahan hidup.  Sklerosia tersimpan dalam tunggul dan jerami sisa panen. Selama pengolahan tanah sklerosia tersebut dapat tersebar ke seluruh petakan sawah dan menjadi inokulum awal penyakit busuk batang pada musim tanam berikutnya.
Pengendalian
Fungisida berbahan aktif difenoconazol  dianjurkan untuk mengendalikan penyakit busuk batang.  Pengendalian dengan teknik pengelolaan lingkungan yang dilaporkan dapat menekan penyakit busuk batang diantaranya adalah: jerami dan tunggul dari tanaman yang terinfeksi  diangkut keluar petakan sawah dan dibakar, pengeringan sawah secara berkala, pemupukan komplit dan nitrogen diberikan sesuai kebutuh tanaman, jarak tanam tidak terlalu rapat, dan memilih varietas padi yang tidak mudah rebah.

Sumber : http://bbpadi.litbang.deptan.go.id

Hama Padi bagian 8

Status
Hawar pelepah padi menjadi penyakit yang semakin penting di beberapa negara penghasil padi. Di Indonesia, hawar pelepah mudah ditemukan pada ekosistem padi dataran tinggi sampai dataran rendah. Gejala penyakit dimulai pada bagian pelepah dekat permukaan air. Gejala berupa bercak-bercak besar berbentuk jorong, tepi tidak teratur berwarna coklat dan bagian tengah berwarna putih pucat. Semenjak dikembangkan varietas padi yang beranakan banyak dan didukung oleh pemberian pupuk yang berlebihan terutama nitrogen, serta cara tanam dengan jarak yang rapat menyebabkan perkembangan hawar pelepah semakin parah. Kehilangan hasil padi akibat penyakit hawar pelepah dapat mencapai 30%.

Biologi dan Ekologi

Penyakit hawar pelepah mulai terlihat berkembang di sawah pada saat tanaman padi stadia anakan maksimum dan terus berkembang sampai menjelang panen, namun kadang tanaman padi di pembibitan dapat terinfeksi parah. Rhizoctonia solani Kuhn termasuk cendawan tanah, sehingga disamping dapat bersifat sebagai parasit juga dapat sebagai saprofit. Pada saat tidak ada tanaman padi, cendawan ini dapat menginfeksi beberapa gulma di pematang juga tanaman palawija yang biasanya digunakan untuk pergiliran tanaman seperti jagung dan kacang-kacangan. Cendawan ini bertahan di tanah dalam bentuk sklerosia maupun miselium yang dorman. Sklerosia banyak terbentuk pada tumpukan jerami sisa panen maupun pada seresah tanaman yang lain. Selama pengolahan tanah sklerosia tersebut dapat tersebar ke seluruh petakan sawah dan menjadi inokulum awal penyakit hawar pelepah pada musim tanam berikutnya.Fenomena ini menunjukkan bahwa sumber inokulum penyakit hawar pelepah selalu tersedia sepanjang musim.
Pengendalian

Hawar pelepah padi (Rhizoctonia solani Kuhn.) dapat dikendalikan secara kimia, biologi, dan teknik budidaya.
Pengendalian secara kimia dengan menggunakan fungisida berbahan aktif benomyl, difenoconazol, mankozeb, dan validamycin dengan dosis 2cc atau 2g per satu liter air dapat menekan perkembangan cendawan R. solani Kuhn dan keparahan hawar pelepah.

Pengendalian secara biologi dengan penyemprotan beberapa bakteri antagonis dapat mengurangi tingkat keparahan hawar pelepah. Penambahan bahan organik yang sudah terdekomposisi sempurna/sudah matang (kompos jerami dengan C/N rasio ±10) dengan dosis 2 ton/ha, dapat menekan perkecambahan sklerosia di dalam tanah dan menghambat laju perkembangan penyakit hawar pelepah di pertanaman.

Pengendalian dengan teknik budidaya diantaranya yaitu menerapkan jarak tanam tidak terlalu rapat, pemupukan komplit dengan pemberian nitrogen sesuai kebutuhan, serta didukung oleh cara pengairan yang berselang. Cara ini dapat menekan laju infeksi cendawan R. solani pada tanaman padi.  Disamping itu, pengurangan sumber inokulum di lapangan dapat dilakukan dengan sanitasi terhadap gulma-gulma disekitar sawah.

Pengendalian penyakit hawar pelepah mempunyai peluang keberhasilan yang lebih tinggi bila taktik-taktik pengendalian tersebut di atas dipadukan (pengendalian penyakit secara terpadu).

Sumber : http://bbpadi.litbang.deptan.go.id

Hama Padi bagian 7

Hama Hawar Daun Jingga
Status
Penyakit hawar daun jingga (HDJ) yang diduga disebabkan oleh bakteri (putih : Pseudomonas sp.  dan kuning : Baccilus sp) merupakan penyakit yang relatif masih baru. Pertama ditemukan di daerah kabupaten Subang Jawa Barat pada MK 1987 disebut sebagai penyakit Bacterial Red Stripe (BRS. Sampai saat ini penyakit tersebar di hampir seluruh Pulau Jawa dan Sumatera, terutama di dataran rendah (<100 m dpl). Penyakit umumnya timbul pada saat tanaman mencapai stadia generatif, pada musim kemarau.  Di Jalur Pantura Jawa Barat penyakit ini dijumpai merata di kabupaten Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon.
Biologi dan Ekologi
Gejala penyakit diawali dengan bercak kecil berwarna jingga, yang timbul di mana saja pada helaian daun. Pada stadia perkembangan penyakit lebih lanjut terbentuk gejala hawar mirip gejala yang ditimbulkan oleh hawar daun bakteri (BLB). Mekanisme penurunan hasil karena hawar daun jingga serupa yang disebabkan oleh hawar daun bakteri , yaitu meningkatkan gabah hampa dan gabah terisi tidak sempurna.
Pengendalian
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa perkembangan penyakit HDJ sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor praktek produksi yang dilakukan seperti varietas, pemupukan, jarak tanam, dan pengairan. Untuk itu, pengendalian penyakit HDJ dianjurkan dengan cara mengatur penggunaan faktor-faktor tersebut. Varietas tahan HDJ sampai saat ini belum tersedia. Hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa pada keadaan perkembangan penyakit yang cukup tinggi, terlihat adanya perbedaan reaksi genotipe terhadap penyakit HDJ yang terjadi secara alamiah. Dari 108 genotipe yang dievaluasi pada MK 2000 di Kebun Percobaan Inlitpa Sukamandil, satu varietas yaitu Lusi tergolong tahan, sementara tiga galur harapan yaitu S2814-2f-Kn-9-3-3, S4668-1g-1-2-2 dan S4668-1g-2-2 tergolong agak tahan, dan genotipe lainnya rentan. Perbedaan reaksi tersebut diduga bersifat genetis seperti yang terjadi pada galur S4668-1g-1-2-2 dan S4668-1g-2-2 yang masih kerabat. Fenomena ini memberikan harapan bahwa usaha untuk memperoleh varietas tahan penyakit HDJ dapat dilakukan. Pemupukan, jarak tanam, dan interaksi antara kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap perkembangan penyakit HDJ. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan penyakit HDJ selain dipengaruhi oleh pemupukan juga bergantung pada kerapatan tanaman. Pupuk yang diberikan sesuai dengan kebutuhan tanaman dan jarak tanam yang tidak terlalu rapat dapat menekan perkembangan penyakit HDJ.Penyakit berkembang dengan baik pada pertanaman padi yang digenang terus menerus sampai berumur 76 HST. Pengeringan berkala pada 45-60 HST dan pada 60-75 HST nyata dapat menurunkan intensitas penyakit HDJ.

Sumber : http://bbpadi.litbang.deptan.go.id

Hama Padi bagian 6


 Hama Hawar Daun Bakteri BLB
Status
Penyakit hawar daun bakteri (bacterial leaf blight = BLB) disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Penyakit ini di Indonesia tersebar hampir diseluruh daerah pertanaman padi baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dan selalu timbul baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Pada musim hujan biasanya berkembang lebih baik. Kerugian hasil yang disebabkan oleh penyakit hawar daun bakteri dapat mencapai 60%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tingkat keparahan 20% sebulan sebelum panen, penyakit sudah mulai menurunkan hasil. Di atas keparahan itu, hasil padi turun 4% tiap kali penyakit bertambah parah sebesar 10%. Kerusakan terberat terjadi apabila penyakit menyerang tanaman muda yang peka sehingga menimbulkan gejala kresek, dapat menyebabkan tanaman mati.

Biologi dan Ekologi

Penyakit hawar daun bakteri disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo). Bakteri ini berbentuk batang dengan koloni berwarna kuning.Patogen ini mempunyai virulensi yang bervariasi tergantung kemampuannya  untuk menyerang varuetas padi yang mempunyai gen resistensi berbeda. Di Indonesia hingga saat ini telah ditemukan sekitar 12 kelompok isolat  (strain) berdasarkan virulensinya terhadap varietas diferensial.  Isolat kelompok VIII tersebar paling luas dan mendominasi di lapangan, sedangkan kelompok IV tidak begitu luas, tetapi mempunyai virulensi tertinggi dan umumnya semua varietas padi peka terhadap kelompok isolat ini. Perkembangan penyakit sangat tergantung pada cuaca dan ketahanan tanaman. Bakteri Xoo menginfeksi tanaman melalui hidatoda atau luka. Setelah masuk dalam jaringan tanaman bakteri memperbanyak diri dalam epithemi yang menghubungkan  dengan pembuluh pengangkutan, kemudian tersebar kejaringan lainnya dan menimbulkan gejala.    Penyakit dapat terjadi pada semua stadia tanaman. Namun yang paling umum ialah terjadi pada saat tanaman mulai mencapai anakan maksimum sampai fase berbunga. Pada stadia bibit, gejala penyakit disebut kresek, sedang pada stadia tanaman yang lebih lanjut, gejala disebut hawar (blight). Gejala diawali dengan bercak kelabu (water soaked) umumnya di bagian pinggir daun. Pada varietas yang rentan bercak berkembang terus, dan akhirnya membentuk hawar. Pada keadaan yang parah, pertanaman terlihat kering seperti terbakar.
Faktor lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan penyakit di lapang, kelembaban tinggi, hujan angin, dan pemupukan N yang berlebihan dapat meningkatkan keparahan penyakit.

Pengendalian

Pengendalian penyakit HDB dengan varietas tahan sangat efektif dan mudah diterapkan. Namun teknologi ini terhambat oleh pembentukan berbagai patotipe  patogen Xoo, yang pada suatu saat mampu mematahkan sifat tahan yang ada. Untuk menghadapi penyakit yang disebabkan oleh patogen yang  mampu membentuk strain, seperti HDB ini, taktik pergiliran varietas tahan perlu didesign secara cermat, agar varietas tahan dapat berfungsi secara baik. Taktik ini memerlukan dukungan berbagai data terutama yang berkaitan dengan profil patotipe yang ada di suatu ekosistem dan respon genotipe padi di berbagai ekosistem sebagai gambaran interaksi antara patotipe dan genotipe padi. Mengingat sifat patogen Xoo yang sangat mudah membentuk patotipe baru maka pengendalian penyakit seperti ini seyogyanya dilakukan dengan penggunaan varietas yang memiliki ketahanan lebih dari satu gen ketahanan (polygenic resisstant). Varietas Angke dan Conde tahan terhadap bakteri X. oryzae pv. oryzea strain III, IV, dan VIII. Pengendalian secara kimiawi untuk penyakit hawar daun bakteri kurang efektif disamping itu biayanya cukup mahal.

Sumber : http://bbpadi.litbang.deptan.go.id-

Hama Padi bagian 5

Tungro

Status
Penyakit tungro merupakan salah satu kendala produksi padi nasional karena kehilangan hasil yang diakibatkannya tinggi, saat ini telah menyebar hampir keseluruh Indonesia terutama seranganya sering meluas (ledakan serangan/outbreak) di daerah sentra produksi beras nasional seperti di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, Kalimantan Selatan. Menurut Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, luas tanaman terinfeksi setiap tahunnya rata-rata mencapai 16.477 ha, rusak total (puso) 1.027 ha selama periode 1996-2002. Dengan perkiraan kehilangan hasil dari tanaman terinfeksi rata-rata 20%, tanaman puso 90%,  harga gabah Rp. 1200 /kg kerugian akibat penyakit tungro mencapai Rp. 14,1 Milyar. Pada saat terjadi ledakan serangan nilai kerugian bisa melebihi dari perhitungan tersebut diatas.  Ledakan tungro sepuluh tahun terakhir ini terjadi di Kabupaten Klaten pada tahun 1995 dengan luas tanaman terserang 12.340 ha, di Nusa Tenggara Barat pada 1998 dengan luas serangan mencapai 15.000 ha.  Disamping itu penyebaran tungro di Jawa Barat terutama di dataran rendah Kabupaten Subang di Jalur Pantai Utara (Jalur Pantura) semakian meluas.
Biologi dan Ekologi
Infeksi virus tungro menyebabkan tanaman kerdil, daun muda berwarna kuning dari ujung daun, daun yang kuning nampak sedikit melintir dan jumlah anakan lebih sedikit dari tanaman sehat.  Secara umum hamparan tanaman padi terlihat berwarna kuning dan tinggi tanaman tidak merata, terlihat spot-spot tanaman kerdil.
Penyakit tungro disebabkan oleh dua jenis virus yaitu virus bentuk batang (RTBV: rice tungro bacilliform virus) dan bentuk bulat (RTSV : rice tungro sperical virus)  yang hanya dapat ditularkan oleh wereng, terutama yang paling efisien adalah spesies wereng hijau Nephotettix virescens Distant.  Wereng hijau dapat mengambil kedua virus tersebut dari singgang, bibit voluntir (ceceran gabah saat panen yang tumbuh), teki, dan eceng.  Wereng hijau spesies N. virescens telah mendominasi komposisi spesies wereng hijau di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.  Populasi N.virescens jarang mencapai kepadatan populasi tinggi sehingga tidak menimbulkan kerusakan langsung.  Adanya kebiasaan pemencaran imago terutama di daerah tanam tidak sermpak, meskipun populasinya rendah apabila ada sumber inokulum efektif menyebarkan tungro.
Kehilangan hasil akan tinggi bahkan bisa tidak menghasilkan sama sekali bila kedua virus menginfeksi tanaman peka dan terjadi pada saat awal fase vegetatif tanaman.  Kehilangan hasil terjadi karena jumlah anakan sedikit dan terganggunya fotosintesa akibat daun berwarna kuning klorofilnya kurang sehingga pengisian gabah tidah sempurna. Virus bulat dari segi penyebaran tungro sangat penting karena virus batang hanya dapat disebarkan oleh wereng hijau apabila wereng hijau telah memperoleh virus bulat. Virus bulat biasanya ditemukan menginfeksi terlebih dahulu pada tanaman maupun pada wereng hijau. Terjadi 2 puncak tambah tanaman terinfeksi dalam satu periode pertumbuhan tanaman padi. Puncak pertama terjadi pada saat tanaman umur satu bulan setelah tanam dan puncak yang kedua terjadi saat tanaman umur dua bulan setelah tanam. Siklus infeksi pertama dilakukan oleh wereng hijau imigran dari sekitarnya, sebangkan siklus kedua oleh keturunannya yang berkembang di lokasi tersebut.
Pengendalian
Pengendalian penyakit tungro dianjurkan  dilakukan dengan memadukan teknik pengendalian yang berefek sinergis memperkuat meknisme pengendalian alami, dalam sistem pengelolaan tanaman terpadu, yang diitroduksikan/aplikasikan secara bertahap sesuai dengan tahapan budidaya. Aplikasi insektisida untuk mematikan secara cepat wereng hijau agar efisien dan berdampak paling sedikit terhadap lingkungan, sebaiknya dilakukan berdasarkan hasil pengamatan tentang kondisi ancaman tungro
a. Pra-tanam
1) Rencanakan tanam bersamaan pada areal sehamparan minimal pada luasan 40ha, berdasarkan jangkauan dari satu sumber inokulum.
2) Rencanakan waktu tanam dengan memperkirakan saat puncak kepadatan populasi wereng hijau dan keberadaan tungro terjadi, tanaman telah melewati fase vegetatif.
3) Bersihkan sumber inokulum tungro seperti singgang, bibit yang tumbuh dari ceceran gabah, rumput teki dan eceng sebelum membuat pesemaian.  Wereng hijau memperoleh virus dari sumber-sumber inokulum tersebut.  Biarkan pematang ditumbuhi rumput lain selain sumber inokulum tersebut untuk tempat berlindung musuh alami.
4) Tanam varietas tahan wereng hijau atau tahan tungro dengan memperhatikan kesesuaian varietas  sesuai dengan Tabel ketahanan varietas di bawah ini:
Tingkat ketahanan golongan varietas tahan wereng hijau terhadap koloni-koloni  N. virescens.

Keterangan:
P:  Peka (kemampuan wereng hijau menularkan tungro pada varietas tersebut tidak berbeda nyata atau nyata lebih tinggi dari kemampuan menularkan tungro pada varietas Cisadane dengan uji DMRT pada taraf  uji 5%)
T: Tahan (kemampuan wereng hijau pada varietas tersebut nyata lebih rendah dari kemampuannya menularkan tungro pada varietas Cisadane dengan uji DMRT pada taraf uji 5%)
Gol. T1: IR20, IR30, IR26, IR46, Citarum, dan Serayu
Gol. T2: IR32, IR38, IR36, IR47, Semeru, Asahan, Ciliwung, Krueng Aceh dan Bengawan Solo
Gol. T3: IR50, IR48, IR54, IR52 dan IR64
Gol. T4: IR66, IR70, IR72, IR68, Barumun, dan Klara.
Ketahanan varietas tahan virus  tungro terhadap berbagai sumber inokulum  tungro
Keterangan:
T: Tahan (Sesuai :tungro <50%); P: Peka (Tidak sesuai : tungro >50%). -: belum diuji
b. Tanam (dari saat pesemaian sampai akhir fase vegetatif tanaman)
Untuk mengetahui ancaman tungro, terlebih-lebih apabila poin 1-4 periode pra-tanam tidak  dapat dilakukan, amati ancaman tungro di pesemaian dan saat tanaman muda dengan cara sebagai berikut :
1) Amati populasi wereng hijau di pesemaian dengan jaring serangga 10 kali ayunan. Uji infeksi virus dengan uji yodium dari 20 daun.  Apabila hasil perkalian  antara jumlah wereng hijau dan persentase daun terinfeksi sama atau lebih dari 75 maka tanaman terancam.  Aplikasi antifidan dengan bahan aktif imidacloprid, thiametoxam atau bahan aktif lainnya di pesemaian atau saat tanaman umur 1 minggu setelah tanam untuk menghambat pemerolehan dan  penularan.  Apabila tidak mampu mengamati populasi dan tanaman terinfeksi di pesemaian, amati gejala tungro saat tanaman umur 3 mst.
2) Tanam dengan cara legowo 2 baris atau 4 baris. Pemencaran wereng hijau berkurang pada pola sebaran inang yang ditanam secara legowo.
3) Pada saat tanaman umur 3 mst, apabila dari petakan alamiah dengan luas kurang lebih 100m2 ditemukan 2 rumpun tanaman bergejala tungro, tanaman terancam. Lakukan secepatnya aplikasi insektisida fungsi ganda yaitu insektisida yang dapat mematikan wereng hijau dan pada residu rendah bersifat antifidan misalnya insektisida berbahan aktif imidacloprid atau thiametoxam atau yang lainnya untuk menghambat pemerolehan dan penularan virus.
4) Sawah jangan dikeringkan, usahakan paling tidak dalam kondisi air macak-macak. Sawah kering merangsang pemencaran wereng hijau yang dapat memperluas penularan.

Sumber : http://bbpadi.litbang.deptan.go.id

Hama Padi bagian 4

Walang Sangit (Leptcorisa oratarius)

Status

Walang sangit (L. oratorius L) adalah hama yang menyerang tanaman padi setelah berbunga dengan cara menghisap cairan bulir padi menyebabkan bulir padi menjadi hampa atau pengisiannya tidak sempurna. Penyebaran hama ini cukup luas.
Di Indonesia walang sangit merupakan hama potensial yang pada waktu-waktu tertentu menjadi hama penting dan dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 50%. Diduga bahwa populasi 100.000 ekor per hektar dapat menurunkan hasil sampai 25%. Hasil penelitian menunjukkan populasi walang sangit 5 ekor per 9 rumpun padi akan menurunkan hasil 15%. Hubungan antara kepadatan populasi walang sangit dengan penurunan hasil menunjukkan bahwa  serangan satu ekor walang sangit per malai dalam satu minggu dapat menurunkan hasil 27%
Kwalitas gabah (beras) sangat dipengaruhi serangan walang sangit. Diantaranya menyebabkan meningkatnya Grain dis-coloration. Sehingga serangan walang sangit disamping secara langsung menurunkan hasil, secara tidak langsung juga sangat menurunkan kwalitas gabah.

Biologi dan ekologi

Tanaman inang alternatif hama walang sangit adalah tanaman rumput-rumputan antara lain: Panicum spp; Andropogon sorgum; Digitaria consanguinaria; Eleusine coracoma; Setaria italica; Cyperus polystachys, Paspalum spp; dan Pennisetum typhoideum.
Dewasa walang sangit meletakan telur pada bagian atas daun tanaman. Pada tanaman padi daun bendera lebih disukai. Telur berbentuk oval dan pipih berwarna coklat kehitaman, diletakan satu persatu dalam 1-2 baris sebanyak 12-16 butir. Lama periode bertelur 57 hari dengan total produksi terlur per induk + 200 butir. Lama stadia telur 7 hari, terdapat lima instar pertumbuhan nimpa yang total lamanya + 19 hari. Lama preoviposition + 21 hari, sehingga lama satu siklus hidup hama walang sangit + 46 hari.
Nimpa setelah menetas bergerak ke malai mencari bulir padi yang masih stadia masak susu, bulir yang sudah keras tidak disukai. Nimpa ini aktif bergerak untuk mencari bulir baru yang cocok sebagai makanannya. Nimpa-nimpa dan dewasa pada siang hari yang panas bersembunyi dibawah kanopi tanaman. Serangga dewasa pada pagi hari aktif terbang dari rumpun ke rumpun sedangkan penerbangan yang relatif jauh terjadi pada sore atau malam hari.
Pada masa tidak ada pertanaman padi atau tanaman padi masih stadia vegetatif, dewasa walang sangit bertahan hidup/berlindung pada barbagai tanaman yang terdapat pada sekitar sawah. Setelah tanaman padi berbunga dewasa walang sangit pindah ke pertanaman padi dan berkembang biak satu generasi sebelum tanaman padi tersebut dipanen. Banyaknya generasi dalam satu hamparan pertanaman padi tergantung dari lamanya dan banyaknya interval tanam padi pada hamparan tersebut. Makin serempak tanam makin sedikit jumlah generasi perkembangan hama walang sangit.
Di alam hama walang sangit diketahui diserang oleh dua jenis parasitoid telur yaitu Gryon nixoni Mesner dan O. malayensis Ferr. Parasitasi kedua parasitoid ini di lapangan dibawah 50%. Pengamatan yang dilakukan pada tahun 1997 dan 2000 pada beberapa daerah di Jawa Barat menunjukkan parasitoid G. nixoni lebih dominan dibandingkan dengan parasitoid O. malayensis. Parasitoid O. malayensis hanya ditemukan pada daerah pertanaman padi di daerah agak pegunungan dimana disamping pertanaman padi banyak ditanaman palawija seperti kedelai atau kacang panjang O. malayensis selain menyerang telur walang sangit juga menyerang telur hama Riptortus linearis dan Nezara viridula yang merupakan hama utama tanaman kedelai. Berbagai jenis laba-laba dan jenis belalang famili Gryllidae dan Tettigonidae menjadi predator hama walang sangit. Jamur Beauveria sp juga merupakan musuh alami walang sangit. Jamur ini menyerang stadia nimpa dan dewasa.
Pengendalian
Pengendalian secara kultur teknik
Sampai sekarang belum ada varietas padi yang tahan terhadap hama walang sangit. Berdasarkan cara hidup walang sangit, tanam serempak dalam satu hamparan merupakan cara pengendalian yang sangat dianjurkan. Setelah ada tanaman padi berbunga walang sangit akan segera pindah dari rumput-rumputan atau tanaman sekitar sawah ke pertanaman padi yang pertama kali berbunga. Sehingga jika pertanaman tidak serempak pertanaman yang berbunga paling awal akan diserang lebih dahulu dan tempat berkembang biak . Pertanaman yang paling lambat tanam akan mendapatkan serangan yang relatif lebih berat karena walang sangit sudah berkembang biak pada pertanaman yang berbunga lebih dahulu. Dianjurkan beda tanam dalam satu hamparan tidak lebih dari 2,5 bulan.
Plot-plot kecil ditanam lebih awal dari pertanaman sekitarnya dapat digunakan sebagai tanaman perangkap. Setelah tanaman perangkap berbunga walang sangit akan tertarik pada plot tanaman perangkan dan dilakukan pemberantasan sehingga pertanaman utama relatif berkurang populasi walang sangitnya.
Pengendalian secara biologis
Potensi agens hayati pengendali hama walang sangit masih sangat sedikit diteliti. Beberapa penelitian telah dilakukan terutama pemanfaatan parasitoid dan jamur masih skala rumah kasa atau semi lapang. Parasitoid yang mulai diteliti adalah O. malayensis sedangkan jenis jamurnya adalan Beauveria sp dan Metharizum sp.
Pengendalian dengan menggunakan perilaku serangga
Walang sangit tertarik oleh senyawa (bebauan) yang dikandung tanaman Lycopodium sp dan Ceratophylum sp. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk menarik hama walang sangit dan kemudian secara fisik dimatikan. Bau bangkai binatang terutama bangkai kepiting juga efektif untuk menarik hama walang sangit.
Pengendalian kimiawi
Pengendalian kimiawi dilakukan pada padi setelah berbunga sampai masak susu, ambang kendali untuk walang sangit adalah enam ekor /m2. Banyak insektisida yang cukup efektif terutama yang berbentuk cair atau tepung sedangkan yang berbentuk granula tidak dapat dianjurkan untuk mengendalikan walang sangit. Insektida anjuran untuk tanaman padi yang cukup efektif terhadap walang sangit adalah BPMC dan MIPC.

Sumber : http://bbpadi.litbang.deptan.go.id

Hama Padi bagian 3

Status
Penggerek batang padi terdapat  sepanjang tahun dan menyebar di seluruh Indonesia pada ekosistem padi yang beragam.  Intensitas serangan penggerek batang padi pada tahun 1998 mencapai 20,5% dan luas daerah yang terserang mencapai 151.577 ha. Kehilangan hasil akibat serangan penggerek batang padi pada stadia vegetatif tidak terlalu besar karena tanaman masih dapat mengkompensasi dengan membentuk anakan baru.
Berdasarkan simulasi pada stadia vegetatif, tanaman masih sanggup mengkompensasi akibat kerusakan oleh penggerek sampai 30%.  Gejala serangan pada stadia generatif menyebabkan malai muncul putih dan hampa yang disebut beluk.  Kerugian hasil yang disebabkan setiap persen gejala beluk berkisar 1-3% atau rata-rata 1,2%. Kerugian yang besar terjadi bila penerbangan ngengat bersamaan dengan stadia tanaman bunting.


Biologi dan Ekologi
Di Indonesia telah dikenal 6 jenis penggerek batang padi, yang terdiri dari 5 jenis famili Pyralidae dan 1 jenis famili Noctuidae. Ke-6 jenis penggerek batang padi tersebut adalah:
  • Penggerek batang padi kuning, Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae)
  • Penggerek batang padi putih, Scirpophaga innotata (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae)
  • Penggerek batang padi bergaris, Chilo suppressalis (Walker) (Lepidoptera: (Pyralidae)
  • Penggerek batang padi kepala hitam, Chilo polychrysus Meyrick (Lepidoptera: Pyralidae)
  • Penggerek batang padi berkilat, Chilo auricilius Dudgeon (Lepidoptera: Pyralidae)
  • Penggerek batang padi merah jambu, Sesamia inferens (Walkers) (Lepidoptera: (Noctuidae).
Jenis-jenis penggerek batang padi ini memiliki sifat atau ciri yang berbeda dalam penyebaran dan bioekologi, namun hampir sama dalam cara menyerang atau menggerek tanaman serta kerusakan yang ditimbulkannya.
Penggerek Batang Padi Kuning
Telur
  • Jumlah telur  50-150 butir/kelompok
  • Ditutupi rambut halus berwarna coklat  kekuningan
  • Diletakkan malam hari (pukul 19.00-22.00) selama 3-5 malam sejak malam pertama
  • Keperidian 100-600 butir tiap betina
  • Stadium telur 6-7 hari
Larva
  • Putih kekuningan sampai kehijauan
  • Panjang maksimum 25 mm
  • Stadium larva 28-35 hari
  • Terdiri  atas 5-7 instar
Pupa
  • Kekuning-kuningan atau agak putih
  • Kokon berupa selaput benang berwarna putih
  • Panjang 12-15 mm
  • Stadium pupa 6-23 hari
Imago/Ngengat
  • Ngengat jantan mempunyai bintik-bintik gelap pada sayap depan
  • Ngengat betina berwarna kuning dengan bintik hitam di bagian tengah sayap depan
  • Panjang ngengat jantan 14 mm dan betina 17 mm
  • Ngengat aktif pada malam hari dan tertarik cahaya
  • Jangkauan terbang dapat mencapai 6-10 km
  • Lama hidup ngengat 5-10 hari dengan siklus hidup 39-58 hari
Gejala tanaman padi terserang penggerek batang pada stadia vegetatif/sundep dan pada stadia generatif/beluk

Gambar ngengat penggerek batang padi kuning dan penggerek batang padi putih
Larva keluar melalui 2-3 lubang yang dibuat pada bagian bawah telur menembus permukaan daun.  Larva yang baru muncul (instar 1) biasanya menuju bagian ujung daun dan menggantung dengan benang halus atau membuat tabung kecil, terayun oleh angin dan jatuh kebagian tanaman lain atau permukaan air.  Larva kemudian bergerak ke tanaman melalui celah antara pelepah dan batang.
Selama hidupnya larva dapat berpindah dari satu tunas ke tunas lainnya dengan cara membuat gulungan ujung daun, menjatuhkan diri ke permukaan air dan memencar ke rumpun yang lain.
Larva instar akhir tinggal di dalam batang sampai stadium pupa.  Sebelum menjadi pupa, larva membuat lubang keluar pada pangkal batang dekat permukaan air atau tanah, yang ditutupi membran tipis untuk jalan keluar setelah menjadi imago.
Karakteristik penggerek batang padi kuning:
  • Kelompok telur diletakkan pada daun bagian ujung
  • Hanya seekor larva dalam satu tunas
  • Pupa berada di dalam pangkal tunas di bawah permukaan tanah
  • Tanaman inang utama adalah padi dan tanaman padi liar
Perubahan kepadatan populasi penggerek batang padi kuning di lapangan sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim (curah hujan, suhu, kelembaban), varietas padi yang ditanam, dan musuh alami yaitu parasitoid, predator, dan patogen.
Penggerek  Batang Padi Putih
Telur
  • Jumlah telur 170-260 butir/kelompok
  • Diletakkan dipermukaan atas daun atau pelepah
  • Mirip telur penggerek batang padi kuning
  • Ditutupi rambut halus, berwarna coklat kekuning-kuningan
  • Stadium telur 4-9 hari
Larva
  • Mirip larva penggerek batang padi kuning
  • Panjang maksimal 21 mm
  • Putih kekuningan
  • Stadium larva 19-31 hari (kalau mengalami diapause dapat berlangsung 3 bulan)
Pupa
  • Stadium pupa 6-12 hari
Imago/Ngengat
  • Warna putih
  • Panjang betina 13 mm dan jantan 11 mm
  • Tertarik cahaya
Pada musim kemarau larva instar akhir tidak langsung menjadi pupa, tetapi mengalami diapause dalam pangkal batang singgang atau tunggul. Hal ini biasanya terjadi di daerah tropis yang memiliki perbedaan musim hujan dan kemarau yang jelas.  Lamanya istirahat tergantung pada lamanya musim kemarau.
Setelah turun hujan dan tanah lembab, larva yang berdiapause akan menjadi pupa dan selanjutnya menjadi ngengat.  Ngengat keluar dari pupa dalam periode waktu yang relatif bersamaan dan meletakkan telur di persemaian.
Karakteristik penggerek batang padi putih:
  • Kelompok telur, larva, dan pupa mirip penggerek batang padi kuning
  • Larva mampu berdiapause selama musim kemarau di dalam pangkal batang singgang/tunggul
  • Masa terbang ngengat pada awal musim hujan terjadi hampir bersamaan
  • Tanaman inang adalah padi, padi liar, beberapa jenis rumput dan tebu
Dinamika populasi penggerek batang padi putih sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan terutama faktor iklim (curah hujan), irigasi, dan musuh alami.
Penggerek Batang Padi Bergaris
Telur
  • Jumlah telur 20-150 butir/kelompok
  • Diletakkan di permukaan bawah daun bagian pangkal atau pelepah
  • Seperti sisik
  • Warna putih, tidak ditutupi rambut
  • Stadium telur 4-7 hari
Larva
  • Warna abu-abu , kepala coklat dengan 5 garis coklat sepanjang tubuhnya
  • Panjang maksimal 26 mm
  • Beberapa larva dalam tiap tunas
  • Stadium larva 33 hari
Pupa
  • Coklat tua
  • Stadium pupa 6 hari
Imago/Ngengat
  • Kepala berwarna coklat muda
  • Warna sayap depan coklat tua
  • Vena sayap nampak jelas
  • Panjang 1,3 mm
Tanaman inang penggerek batang padi bergaris terutama adalah padi, padi liar, jagung, dan beberapa jenis rumput.
Penggerek Batang Padi Berkepala Hitam
Telur
  • Berkelompok
  • Pada daun dekat pangkal/pelepah
  • Tidak tertutup sisik
  • Stadium telur 6 hari
Larva
  • Kepala hitam
  • Stadium larva 30 hari
  • Panjang 18-24 mm
  • Beberapa larva tiap tunas
Pupa
  • Coklat tua
  • Stadium pupa 6 hari
Imago/Ngengat
  • Kepala hitam
  • Sayap depan bersisik, bagian tengah keperakan
  • Sayap belakang kuning muda
  • Panjang 10-13 mm
Siklus hidup berlangsung selama 26-61 hari.  Tanaman inang penggerek batang padi bergaris adalah padi, padi liar, jagung, tebu, sorgum, dan beberapa jenis rumput.
Penggerek Batang Padi Merah Jambu
Telur
  • Dalam barisan,  mirip manik-manik, diantara pelepah daun batang padi
  • 2-3 baris/kelompok
  • 30-100 butir/kelompok
  • Tidak tertutup sisik
  • Stadium telur 6 hari
Larva
  • Kepala merah jambu
  • Panjang maksimal 35 mm
  • Beberapa larva tiap tunas
  • Stadium larva 28-56 hari
Pupa
  • Coklat tua
  • Panjang 18 mm
  • Pada pelepah atau batang
  • Stadium pupa 8-11 hari
Imago
  • Coklat
  • Sayap depan bergaris coklat tua memanjang
  • Sayap belakang putih
  • Panjang 14-17 mm
  • Kurang tertarik cahaya
Siklus hidup berlangsung 46-83. Hama ini bersifat polifag dan dapat hidup pada tanaman inang: padi, tebu, jagung, sorghum, padi liar, Panicum sp. dan Paspalum sp.
Pengendalian
A. Daerah Serangan Endemik
Pengaturan Pola Tanam
  • Dilakukan penanaman serentak, sehingga tersedianya sumber makanan bagi      penggerek batang padi dapat dibatasi.
  • Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan padi sehingga dapat memutus siklus hidup hama.
  • Pengelompokan persemaian dimaksudkan untuk memudahkan upaya pengumpulan telur penggerek secara masal.
  • Pengaturan waktu tanam yaitu pada awal musim hujan tanam varietas genjah, dan pada pertengahan musim hujan tanam varietas dalam berumur > 120 hari.
Pengendalian Secara Fisik dan Mekanik
  • Cara fisik yaitu dengan penyabitan tanaman serendah mungkin sampai permukaan tanah pada saat panen.  Usaha itu dapat pula diikuti penggenangan air setinggi 10 cm agar jerami atau pangkal jerami cepat membusuk sehingga larva atau pupa mati.
  • Cara mekanik dapat dilakukan dengan mengumpulkan kelompok telur penggerek batang padi di persemaian dan di pertanaman.
Pengendalian Hayati
  • Pemanfaatan musuh alami baik parasitoid, predator, maupun patogen.
  • Konservasi musuh alami dengan cara menghindari aplikasi insektisida secara semprotan.
Pengendalian Secara Kimiawi
  • Apabila diperlukan sebagai alternatif pada fase vegetatif penggunaan insektisida dapat dilakukan pada saat ditemukan kelompok telur rata-rata >1 kelompok telur/3 m2 atau intensitas serangan rata-rata > 5%. Bila tingkat parasitisasi kelompok telur pada fase awal vegetatif >50% tidak perlu aplikasi insektisida.
  • Penggunaan insektisida butiran di persemaian dengan dosis 5 kg/500 m2 bila dijumpai kelompok telur (Wasiati A et al., 2002).
  • Penggunaan Seks Feromon
    • Dipakai untuk memantau fluktuasi populasi penggerek batang berdasarkan ngengat yang tertangkap.
    • Dapat dipakai untuk menentukan waktu aplikasi insektisida (Bila tangkapan feromon sebanyak 100 ekor/minggu).
  • Dapat dipakai untuk pengendalian penggerek batang padi putih yaitu dengan cara mass trapping (penangkapan masal):  9-16 perangkap/ha.
B.  Daerah Serangan Sporadik
  • Cara pengendalian selain menggunakan insektisida yang dapat diterapkan sesuai dengan keadaan setempat.
  • Penyemprotan dengan insektisida berdasarkan hasil pengamatan, yaitu apabila ditemukan rata-rata > 1 kelompok telur/3 m2  atau intensitas serangan penggerek     batang padi (sundep) rata-rata > 5% dan beluk rata-rata 10 % selambat-lambatnya tiga minggu sebelum panen.
Informasi lainnya
Sebagai tindakan preventif dalam pengendalian penggerek batang padi, memantau fluktuasi populasi penggerek batang perlu dilakukan secara rutin.  Untuk memantau fluktuasi populasi penggerek batang padi yang ada di dalam areal pertanaman padi dapat menggunakan seks feromon. Sementara untuk memantau fluktuasi populasi penggerek batang padi yang berasal dari migrasi dari luar daerah dapat menggunakan light trap (perangkap cahaya).

 Sumber : http://bbpadi.litbang.deptan.go.id

Hama Padi bagian 2

Hama Tikus

Status
Merupakan hama prapanen utama penyebab kerusakan terbesar tanaman padi, terutama pada agroekosistem dataran rendah dengan pola tanam intensif. Tikus sawah merusak tanaman padi pada semua stadia pertumbuhan dari semai hingga panen (periode prapanen), bahkan di gudang penyimpanan (periode pascapanen).

Kerusakan parah terjadi apabila tikus menyerang padi pada stadium generatif, karena tanaman sudah tidak mampu membentuk anakan baru. Ciri khas serangan tikus sawah adalah kerusakan tanaman dimulai dari tengah petak, kemudian meluas ke arah pinggir, sehingga pada keadaan serangan berat hanya menyisakan 1-2 baris padi di pinggir petakan.
Biologi dan Ekologi
Tikus sawah digolongkan dalam kelas vertebrata (bertulang belakang), ordo rodentia (hewan pengerat), famili muridae, dan genus Rattus. Tubuh bagian dorsal/ punggung berwarna coklat kekuningan dengan bercak-bercak hitam di rambut-rambutnya, sehingga secara keseluruhan tampak berwarna abu-abu. Bagian ventral/perut berwarna putih keperakan atau putih keabu-abuan. Permukaan atas kaki seperti warna badan, sedangkan permukaan bawah dan ekornya berwarna coklat tua. Tikus betina memiliki 12 puting susu (6 pasang), dengan susunan 1 pasang pada pektoral, 2 pasang pada postaxial, 1 pasang pada abdomen, dan 2 pasang pada inguinal. Pada tikus muda/predewasa terdapat rumbai rambut berwarna jingga di bagian depan telinga. Ekor tikus sawah biasanya lebih pendek daripada panjang kepala-badan dan moncongnya berbentuk tumpul.
Panca indera tikus sawah berkembang baik dan sangat menunjang setiap aktivitas kehidupannya. Sebagai hewan nokturnal, mata tikus telah berkembang dan menyesuaikan untuk melihat dalam intensitas cahaya rendah. Indera penciuman berkembang baik. Dengan indera tersebut, tikus mendeteksi wilayah pergerakan tikus lain, jejak anggota kelompoknya, dan betina estrus. Indera pendengaran tikus sawah berkembang sempurna. Indera pengecap berkembang baik sehingga mampu mendeteksi rasa pahit, racun, dan enak/tidaknya suatu pakan. Indera peraba juga berkembang baik, kumis dan rambut-rambut panjang pada sisi tubuhnya digunakan sebagai sensor sentuhan terhadap benda-benda yang dilalui. Dengan indera yang berkembang dan terlatih tersebut, tikus sawah memiliki kemampuan fisik yang prima seperti berlari, menggali, memanjat, meloncat, melompat, mengerat, berenang, dan menyelam. Tikus sawah juga berperilaku cerdik dan memiliki kemampuan belajar/mengingat (meskipun terbatas).
Tikus sawah mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi. Periode perkembang-biakan hanya terjadi pada saat tanaman padi periode generatif. Dalam satu musim tanam padi, tikus sawah mampu beranak hingga 3 kali dengan rata-rata 10 ekor anak per kelahiran. Tikus betina relatif cepat matang seksual (±1 bulan) dan lebih cepat daripada jantannya (±2-3 bulan). Cepat/lambatnya kematangan seksual tersebut tergantung dari ketersediaan pakan di lapangan. Masa kebuntingan tikus betina sekitar 21 hari dan mampu kawin kembali 24-48 jam setelah melahirkan (post partum oestrus). Terdapatnya padi yang belum dipanen (selisih hingga 2 minggu atau lebih) dan keberadaan ratun (Jawa : singgang) terbukti memperpanjang periode reproduksi tikus sawah. Dalam kondisi tersebut,anak tikus dari kelahiran pertama sudah mampu bereproduksi sehingga seekor tikus betina dapat menghasilkan total sebanyak 80 ekor tikus baru dalam satu musim tanam padi. Dengan kemampuan reproduksi tersebut, tikus sawah berpotensi meningkatkan populasinya dengan cepat jika daya dukung lingkungan memadai.
Tikus sawah bersarang pada lubang di tanah yang digalinya (terutama untuk reproduksi dan membesarkan anaknya) dan di semak-semak (refuge area/habitat pelarian). Sebagai hewan omnivora (pemakan segala), tikus mengkonsumsi apa saja yang dapat dimakan oleh manusia. Apabila makanan berlimpah, tikus sawah cenderung memilih pakan yang paling disukainya yaitu padi. Tikus menyerang padi pada malam hari. Pada siang harinya, tikus bersembunyi di dalam lubang pada tanggul-tanggul irigasi, jalan sawah, pematang, dan daerah perkampungan dekat sawah. Pada saat lahan bera, tikus sawah menginfestasi pemukiman penduduk dan gudang-gudang penyimpanan padi dan akan kembali lagi ke sawah setelah pertanaman padi menjelang generatif.
Kehadiran tikus pada daerah persawahan dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan (run way), kotoran/feses, lubang aktif, dan gejala serangan.
Pengendalian
Pengendalian tikus dilakukan dengan pendekatan PHTT (Pengendalian Hama Tikus Terpadu) yaitu pendekatan pengendalian yang didasarkan pada pemahaman biologi dan ekologi tikus, dilakukan secara dini, intensif dan terus menerus dengan memanfaatkan semua teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Pelaksanaan pengendalian dilakukan oleh petani secara bersama-sama dan terkoordinasi dengan cakupan wilayah sasaran pengendalian  dalam skala luas.
Kegiatan pengendalian tikus ditekankan pada awal musim tanam untuk menekan populasi awal tikus sejak awal pertanaman sebelum tikus memasuki masa reproduksi. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan gropyok masal, sanitasi habitat, pemasangan TBS dan LTBS. Gropyok dan sanitasi dilakukan pada habitat-habitat tikus seperti sepanjang tanggul irigasi, pematang besar, tanggul jalan, dan batas sawah dengan perkampungan. Pemasangan bubu perangkap pada pesemaian dan pembuatan TBS (Trap Barrier System / Sistem Bubu Perangkap) dilakukan pada daerah endemik tikus untuk menekan populasi tikus pada awal musim tanam.
Kegiatan pengendalian yang sesuai dengan stadia pertumbuhan padi antara lain sbb. :
TBS merupakan petak tanaman padi dengan ukuran minimal (20 x 20)m yang ditanam 3 minggu lebih awal dari tanaman di sekitarnya, dipagar dengan plastik setinggi 60 cm yang ditegakkan dengan ajir bambu pada setiap jarak 1 m, bubu perangkap dipasang pada setiap sisi dalam pagar plastik dengan lubang menghadap keluar dan jalan masuk tikus. Petak TBS dikelilingi parit dengan lebar 50 cm yang selalu terisi air untuk mencegah tikus menggali atau melubangi pagar plastik. Prinsip kerja TBS adalah menarik tikus dari lingkungan sawah di sekitarnya (hingga radius 200 m) karena tikus tertarik padi yang ditanam lebih awal dan bunting lebih dahulu, sehingga dapat mengurangi populasi tikus sepanjang pertanaman.
LTBS merupakan bentangan pagar plastik sepanjang minimal 100 m, dilengkapi bubu perangkap pada kedua sisinya secara berselang-seling sehingga mampu menangkap tikus dari dua arah (habitat dan sawah). Pemasangan LTBS dilakukan di dekat habitat tikus seperti tepi kampung, sepanjang tanggul irigasi, dan tanggul jalan/pematang besar. LTBS juga efektif menangkap tikus migran, yaitu dengan memasang LTBS pada jalur migrasi yang dilalui tikus sehingga tikus dapat diarahkan masuk bubu perangkap.
Fumigasi paling efektif dilakukan pada saat tanaman padi stadia generatif. Pada periode tersebut, sebagian besar tikus sawah sedang berada dalam lubang untuk reproduksi. Metode tersebut terbukti efektif membunuh tikus beserta anak-anaknya di dalam lubangnya. Rodentisida hanya digunakan apabila populasi tikus sangat tinggi, dan hanya akan efektif digunkan pada periode bera dan stadium padi awal vegetatif.

http://bbpadi.litbang.deptan.go.id

Hama Padi bagian 1

Wereng Coklat


Status
Wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) merupakan hama  dari golongan insekta yang sangat merugikan perpadian di Indonesia.  Hama wereng coklat pada dasawarsa 1961-1970 telah merusak tanaman padi seluas 52.000 ha.  Pada periode tersebut serangan terjadi pada musim hujan 1968-1969 di daerah Jawa Tengah (Brebes, Tegal, Klaten) seluas 2.000 ha dan di Jawa Barat (Subang dan Indramayu) sekitar 50.000 ha. Pada dasawarsa tahun 1971-1980 mencapai 2.500.000 ha.

Serangan wereng coklat yang sangat berarti mengurangi hasil padi secara substansial, mengakibatkan kelumpuhan perekonomian tingkat petani, hal ini terbukti dengan laporan dari beberepa propinsi untuk tahun 2004 dan 2005 telah terjadi serangan wereng coklat terhadap beberapa varietas padi yang diunggulkan. Pada MT 2005 luas serangan wereng coklat di Jawa Timur, Jawa Tengah,  dan Jawa Barat  mencapai 46.000 ha.
Bioekologi wereng coklat
Wereng coklat berkembangbiak secara sexual, masa pra peneluran 3-4 hari untuk brakiptera (bersayap kerdil) dan 3-8 hari untuk makroptera (bersayap panjang).  Telur biasanya diletakkan pada jaringan pangkal pelepah daun, tetapi kalau populasinya tinggi telur diletakkan di ujung pelepah daun dan tulang daun.  Telur diletakkan berkelompok, satu kelompok telur terdiri dari 3-21 butir.  Satu ekor betina  mampu  meletakkan  telur  100-500  butir.
Di Sukamandi Telur menetas setelah 9 hari, sedangkan di daerah subtropika waktu  penetasan telur lebih lama lagi.  Nimfa mengalami lima instar, dan rata-rata waktu yang diperlukan untuk  menyelesaikan periode nimfa adalah 12.82 hari. Nimfa dapat berkembang menjadi dua bentuk wereng dewasa. Bentuk pertama adalah makroptera (bersayap panjang) yaitu wereng coklat yang mempunyai sayap depan dan sayap belakng normal.  Bentuk kedua adalah brakiptera (bersayap kerdil) yaitu wereng coklat dewasa yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang tumbuh tidak normal, terutama sayap belakang sangat rudimenter.
Faktor alelokemik tanaman merupakan faktor yang agak langsung mempengaruhi bentuk sayap.  Jaringan tanaman hijau kaya bahan kimia mimik hormon juvenil, tetapi pada padi yang mengalami penuaan bahan kimia mimik hormon juvenilnya berkurang.  Oleh karena itu perkembangan wereng coklat pada tanaman tua atau setengah tua banyak muncul makroptera.
Perubahan bentuk sayap ini penting sekali ditinjau dari tersedianya makanan pokok di lapangan.
Pengendalian
Pengendalian wereng coklat telah dilakukan sejak 1970 dengan berbagai cara. Usaha-usaha pengendalian ini meliputi penggunaan varietas tahan, perubahan cara bercocok tanam, dan penggunaan pestisida.   Inpres No.3, 1986 lebih mempertegas kembali pengendalian hama terpadu (PHT) hama wereng coklat yaitu pola tanam, varietas tahan, sanitasi, dan eradikasi, serta penggunaan pestisida secara bijaksana.
Pada dasarnya pengendalian wereng coklat menyangkut tiga komponen dasar yaitu a) pengetahuan biologi dan ekologi serangga, b) penetapan ambang ekonomi/ambang kendali, dan c) metode pengukuran atau penilaian terhadap serangan hama.  Komponen dasar tersebut sebagian besar sudah diketahui. Maka sistem pengelolaan itu harus dapat dikembangkan dengan baik.

Jurus Varietas tahan
Pengendalian wereng coklat yang pertama kali harus menggunakan varietas tahan yang disesuaikan dengan biotipe wereng yang dihadapinya.  Varietas tahan mempunyai andil yang sangat besar karena dapat mereduksi populasi wereng coklat.    IR74 (Bph3) dan IR64 (Bph1+) berturut-turut dapat mereduksi wereng coklat sebesar 94.9 dan 77.4% dibanding dengan varietas Cisadane yang tidak dapat menekan populasi wereng coklat biotipe 3, sedangkan Cisanggarung hanya mereduksi 20.3%.
Teknologi pengendalian hama menggunakan ambang ekonomi
berdasar musuh alami
Pengendalian wereng coklat menggunakan ambang kendali berda­sar musuh alami dapat digunakan pada semua daerah serangan hama.  Pekerjaan yang mesti dilakukan sebagai berikut:
  1. Pengamatan wereng coklat dilakukan  seminggu sekali atau paling lambat 2 minggu sekali
  2. Amati pada 20 rumpun arah diagonal, pada hamparan 5 ha dengan .(varietas sama dan umur yang sama diambil 2 contoh masing-masing 20 rumpun.
  3. Hitung jumlah wereng (wereng coklat +  wereng punggung putih) dan musuh alami (laba-laba Ophione nigrofasciata, Paederus fuscifes, Coccinella, dan kepik Cyrtorhinus lividipennis.
  4. Gunakan formula Baehaki  dibawah ini

Ai: Populasi wereng (wereng coklat + wereng punggung putih} pada 20 rumpun pada minggu ke-i.
Bi:  Populasi predator Laba-laba + Ophionea nigrfasciata + Paederus fuscifes Coccinella pada 20 rumpun pada minggu ke-i
Ci: Populasi Cyrtorhinus lividipennis pada 20 rumpun
Di: Wereng coklat terkoreksi per rumpun

Aplikasi insektisida

Jika dan hanya jika nilai Di > 5 ekor wereng coklat terkorek­si/rumpun pada padi berumur <40 hst atau nilai  Di >20 ekor wereng coklat terkoreksi/rumpun pada padi berumur > 40hst perlu diapli­kasi dengan insektisida  yang direkomendasikan.
Jika dan hanya jika nilai Di < 5 ekor wereng coklat terkorek­si/rumpun pada padi berumur <40 hst atau nilai Di <20 ekor wereng coklat terkoreksi/rumpun pada padi berumur > 40hst tidak perlu diaplikasi dengan insektisida, tetapi teruskan amati pada minggu berikutnya.
Pada ambang kendali berdasarkan musuh alami terabaikan perhitungannya sama dengan di atas.  Perbedaannya yaitu jika nilai Di > 5 ekor wereng coklat terkoreksi/rumpun pada padi beru­mur <40 hst atau nilai Di >20 ekor wereng coklat terkoreksi/rumpun pada padi berumur > 40hst tidak perlu diaplikasi dengan insekti­sida dan dibiarkan sampai pengamatan minggu berikutnya.  Apabila hasil analisis minggu berikutnya menunjukkan nilai Di lebih besar dari nilai Di minggu yang lalu, maka perlu dikemdalikan dengan insektisida tersebut di atas.  Apabila hasil analisis minggu berikutnya menunjukkan nilai  Di lebih kecil atau sama dengan nilai Di minggu yang lalu, maka tidak perlu diaplikasi dan amati lagi pada minggu selanjutnya.

Sumber   : http://bbpadi.litbang.deptan.go.id

Varietas Unggul Padi Baru

Varietas unggul merupakan salah satu komponen paket teknologi budidaya padi yang secara nyata dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Pada tahun 2008 Balai Besar Penelitian Tanaman Padi telah melepas 6 varietas INPARI (INPARI 1-6), dan 3 Varietas INPARA (INPARA 1-3). Inbrida Padi Irigasi, atau lebih dikenal dengan INPARI adalah varietas-varietas unggul baru padi sawah yang cocok ditanam di lahan sawah irigasi, sedangkan Inbrida Padi Rawa (INPARA) adalah varietas-varietas unggul padi yang baik dibudidayakan pada kondisi lahan rawa, tahan terhadap rendaman, serta daya adaptasi pada kondisi lahan masam.




INPARI :

1. INPARI 1
Varietas ini dilepas berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 952/Kpts/SR.120/7/2008 Tanggal 17 Juli 2008. Ciri-ciri varietas ini bentuk tanaman tegak, dengan tinggi tanaman 93 cm, jumlah anakan produktif mencapai 16 anakan, dan tekstur nasi pulen. Keunggulan varietas ini adalah ketahanan terhadap wereng batang coklat biotipe 2, serta agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 3, selain itu varietas INPARI 1 mempunyai ketahanan terhadap penyakit Hawar Daun Bakteri, serta tahan rebah. Umur tanaman yang relatif pendek (108 hari) adalah keunggulan lain dari varietas ini. Yang paling penting dari suatu varietas unggul adalah potensi produksi yang cukup tinggi, rata-rata produksi varietas INPARI 17,32 ton/ha Gabah Kering Giling (GKG) serta mempunyai potensi produksi 10 ton/ha GKG.

2. INPARI 2
Varietas INPARI 2 termasuk golongan cere, dengan umur tanaman 115 hari, bentuk tanaman tegak, tinggi tanaman 85-95 cm, dengan jumlah anakan 15 anakan. Potensi hasil Varietas ini adalah 7,30 ton/ha dengan rata-rata hasil 5,83 ton/ha. Varietas ini cocok ditanam di ekosistem sawah dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl. Varietas INPARI 2 agak tahan terhadap hama wereng batang coklat, penyakit hawar daun bakteri, penyakit virus tungro. Varietas ini dilepas berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 951/Kpts/SR.120/7/2008 Tanggal 17 Juli 2008.

3. INPARI 3
Varietas INPARI 3 cocok ditanam pada lahan irigasi dengan ketinggian sampai 600 m dpl. Varietas ini termasuk dalam golongan cere, dengan umur tanaman 110 hari. Potensi hasil varietas yang dilepas berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 953/Kpts/SR.120/7/2008 Tanggal 17 Juli 2008 ini mencapai 7,52 ton/ha dengan rata-rata hasil 6,05 ton/ha. Varietas ini tahan terhadap hama wereng batang coklat dan agak tahan terhadap penyakit Hawar daun bakteri, dan penyakit virus tungro inokulum variasi 073, 013 dan 031.

4. INPARI 4
Tidak begitu berbeda dengan Varietas INPARllainnya, INPARI4 juga memiliki ketahanan terhadap ham a . wereng batang coklat, dan agak tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri, serta agak tahan penyakit virus tungro inokulum varian 073 dan 031. Potensi hasil 8,80 ton/ha dengan rata-rata hasil 6,04 ton/ha. Varietas ini termasuk dalam golongan cere dengan umur tanaman 115 hari, tinggi tanaman 95-105 cm, dan 16 jumlah anakan. Varietas INPARI4 dilepas berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 954/Kpts/SR.120/7/2008 Tanggal 17Juli 2008.

5. INPARI 5 MERAWU
Varietas INPARI 5 dilepas berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 955/Kpts/SR.120/7/2008 tanggal 17 Juli 2008. Varietas ini termasuk golongan cere, dengan umu! tanaman 115 hari, tinggi tanaman 100-105 cm, dan jumlah anakan 15 anakan. Varietas INPARI 5 agak rentan terhadap hama wereng batang coklat Biotipe I, 2, dan 3, tetapi varietas ini agak tahan terhac:lap penyakit hawar daun bakteri, dan penyakit virus tungro inokulum varian 073 dan 031. Padaumumnya varietas . INPARI 5 cocok ditanam pad a lahan irigasi dengan ketinggian sampai dengan 600 m dpl.

6. IN PARI 6 JETE
Termasuk golongan cere indica dengan umur tanaman 118 hari, tinggi tanaman 100 cm, jumlah anakan 15 batang. INPARI 6 memiliki tekstur nasi sangat pulen dengan kadar amilosa 18 %. Potensi produksi varietas INPARI 6 produktivitas 8,60 ton/ha GKG; 12 ton/ ha GKG. Varietas ini tahan rebah, serta tahan terhadap hama wereng batang coklat biotipe 2 dan 3 serta tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri strain III, IV dan strain VIII. Varietas INPARI 6 JETE diiepas berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 956/ Kpts/SR.120/7/2008 Tanggal 17 Juli 2008.

INPARA

1. INPARA I
Varietas INPARA I termasuk dalam golongan Cere Indica, dengan umur tanaman 131 hari, bentuk tanaman tegak, tinggi tanaman 111 cm, jumlah anakan produktif varietas INPARA I dapat mencapai 18 anakan. Apabila ditanam pada kondisi lahan rawa lebak rata-rata hasil dapat mencapai 5,65 ton/ha, sedangkan apabila ditanam pada kondisi lahan rawa pasang surut rata-rata hasllnya lebih rendah yaitu 4,45 ton/ha. Varietas INPARA I memiliki potensi hasil cukup tinggi yaitu 6,47 ton/ha. Lahan rawa, baik rawa lebak maupun rawa pasang surut umumnya mengandung Fe dan Al cukup tinggi, kedua unsur ini apabila dalam kondisi banyak dapat menyebabkan keracunan pada tanaman. Varietas INPARA I memiliki toleransi keracunan Fe dan Al serta agak tahan terhadap serangan wereng batang coklat Biotipe 1 dan 2, serta tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri dan bias. Varietas ini cocok ditanam di daerah rawa lebak dan rawa pasang surut. Varietas INPARA I dilepas berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor. 957/ Kpts/SR.120/7/2008 Tanggal 17 Juli 2008.

2. INPARA 2
INPARA 2 merupakan varietas yang termasuk dalam golongan cere indica, varietas ini agak tahan terhadap wereng batang coklat Biotipe 2 serta tahan terhadap hawar daun dan blass, serta memiliki toleransi terhadap keracunan Fe dan Al. INPARA 2 baik ditanam pada lahan pasang surut dan lahan rawa lebak. Ciri dari varietas ini adalah umur tanaman 128 hari, bentuk tanaman tegak, ketahanan terhadap rebah sedang, tinggi tanaman 103 cm dengan jumlah anakan produktif mancapai 16 batang. Potensi hasil INPARA 2 mencapai 6,08 ton/ha dengan rata-rata hasil pada lahan rawa lebak 5,49 ton/ha, dan pada lahan rawa pasang surut 4,82 ton/ha. Varietas INPARA 2 dilepas berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor. 958/Kpts/SR.120/7!2008 tanggal 17Juli 2008.

3. INPARA 3
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor. 960/Kpts/SR.120/7I2008 Tanggal 17 Juli 2008 Varietas INPARA 3 dilepas. INPARA 3 agak toleran rendaman selama 6 hari pada fase vegetatif, agak toleran keracunan Fe dan Al, baik ditanam di daerah rawa lebak, rawa pasang surut potensial dan di sawah irigasi yang rawan terhadap banjir. Varietas INPARA 3 termasuk dalam golongan cere indica, tekstur nasi pera, dengan umur tanaman 127 hari, tinggi tanaman 108 cm, bentuk tanaman tegak, dengan jumlah anakan produktif 17 anakan. Potensi hasil INPARA 3 mancapai 5,6 ton/ha, dengan rata-rata hasil 4,6 ton/ ha GKG.

Peran Penyuluh Pertanian di lapangan. Berkaitan dengan telah dilepaskannya varietas baru tersebut, maka penyuluh pertanian perlu mencari tahu, mencoba, dan menginformasikan kepada petani varietas-varietas yang cocok dan menguntungkan di wilayah kerjanya.

Ume Humaedah, SP., M.Si
Penulis dari BBP2TP
Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 10 Juni 2009